Kisah para Bidadari Surga dari Palestina
Dalam tekanan penjajahan Israel, telah
lama wanita Palestina menjadi pejuang yang tangguh dan tabah. Mereka
adalah anak yang menyaksikan ayahnya ditawan, istri yang kehilangan
suaminya tanpa jejak, ibu yang menguburkan putranya yang syahid.
Akhirnya, mereka menempuh jalan perjuangan baru: meledakkan diri sebagai
Laskar Mawar.
Kantor Bulan Sabit Merah di Ramallah bertempat di sebuah gedung tiga
lantai bercat putih dengan genting berwarna merah, tak jauh dari pusat
kota. Lantai pertama, tempat para petugas menerima panggilan darurat,
dilengkapi dengan sebuah sofa dari besi dan kursi-kursi dapur yang
mengelilingi sebuah meja kayu rendah yang telah kusam. Di sudut ruangan,
sebuah televisi tengah menyiarkan saluran pemerintah Palestina, yang
memonitor semua peristiwa di sepanjang Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan
menyiarkan berita serta laporan setiap jamnya.
Wafa Idris
Hari itu, ada lima anggota Bulan Sabit Merah yang bertugas menerima
panggilan darurat, tiga leleaki dan dua perempuan, yang tampaknya sudah
saling kenal dekat. Antara lain, Tared Abed, 27, Ahlam Nasser, 23,
Nassam Al-Battouni, 22, Bilal Saleh, 23, dan Wafa Idris, 25 tahun.
Mereka terus bercanda.
Dari semua relawan, Wafa-lah yang paling banyak bergerak. Ia
bermain-main dengan tali karet besar yang elastis, dan
mengayun-ayunkannya seperti ketapel ke arah teman-temannya sambil
bercanda.
Wafa adalah seorang wanita muda yang berpostur tinggi dengan rambut
hitam panjang, dicat dengan henna. Wajahnya yang bulat dihiasi make-up
tipis sehingga matanya yang berwarna gelap dan bibirnya yang menyerupai
busur panah itu semakin tampak jelas. Di kepalanya bertengger sebuah
topi beludru warna hitam. Ia begitu cantik dan ramah.
Pernah beberapa wartawan Barat mengajaknya kencan, tapi sebagai muslimah ia menolak ajakan mereka.
Tiba-tiba, televisi menyiarkan gambar seorang lelaki dengan kepala dan
wajah terbungkus kafayeh bermotif kota-kotak merah putih. Ia berbicara
bahasa Arab, sambil menyandang senapan di salah satu tangannya dan
Al-Quran di tangannya yang lain.
Walau semua temannya yang lain terus teratwa dan bercanda, wajah Wafa berubah serius.
Lelaki di televisi itu mengatakan, dirinya akan berjihad dengan meledakkan dirinya di salah satu wilayah pendudukan Israel.
Wafa terdiam di kursinya. Ia menghayati setiap patah kata sang calon
syahid yang hendak bertempur. Dagunya menengang, sikapnya khidmat,
tenang, dan tak bergerak. Sampai lelaki di layar kaca itu mengakhiri
pernyataannya dengan mengucapkan selamat tinggal kepada penduduk
Palestina, teman-temannya, dan keluarganya.
Setelah pelaku bom bunuh diri itu mengakhiri pidatonya, tiba-tiba Wafa mengangkat tangan kanannya dan melambai.
Sebulan kemudian, di pagi hari, tepatnya 27 Januari 2002, lebih dari
seribu wanita Palestina berbondong-bondong datang untuk mendengarkan
pidato Yasser Arafat di kampnya di Ramallah.
Dalam keadaan dijaga oleh para pengawal dan penasihat setianya yang
selalu siaga, ia menegaskan bahwa kaum wanita tidak hanya diterima,
tetapi juga diharapkan bisa berpartisipasi dalam perlawanan bersenjata
menentang pendudukan Israel. “Kalian adalah Pasukan Mawarku, yang akan
menghancurkan tank-tank Israel. Syahidah siap sepenuhnya menuju
Yerusalem….”
Ia mengulang-ulangi kalimat itu, hingga para pendengar dengan tangan
terkepal ke atas turut berteriak, “Syahidah… syahidah… tunggulah
Yerusalem.. Akan kami berikan darah dan jiwa kami kepadamu dan
Palestina….”
Lalu, sambil membentangkan kedua tangannya ke arah kerumunan wanita
dan gadis-gadis muda itu, ia berkata, “Kalian adalah harapan Palestina.
Kalian akan membebaskan para suami, para ayah, dan putra-putra kalian
dari penindasan. Kalian akan mengorbankan diri sebagaimana kalian
senantaisa mengorbankan diri bagi keluarga kalian…”
Maka, tak berapa lama, siang harinya, terdengar berita heroik itu….
Wafa, putri Palestina yang cantik itu, meledakkan dirinya hingga
berkeping-keping di tengah kota Yerusalem di sebuah pusat perbelanjaan,
menewaskan seorang lelaki Israel, dan melukai 131 orang yang lalu
lalang.
Wafa Idris adalah wanita pertama yang meledakkan dirinya. Ia melakukan kamikaze atas nama perjuangan rakyat Palestina.
Beritanya segera menyebar. Para pengamat politik maupun pakar
psikologis pun berlomba mengeluarkan pendapat. Salah satunya Adel Sadew,
psikiater yang mengepalai Departemen Psikiatri, Universitas Kairo. Ia
menyamakan Wafa Idris dengan Yesus Kristus.
“Mungkin kalian dilahirkan di kota yang sama, lingkungan yang sama,
dan rumah yang sama. Mungkin kalian makan dari piring yang sama, atau
minum dari cangkir yang sama, air yang mengalir dari nadi-nadi kota
suci, dan yang menempatkan seorang anak di rahim Maryam. Mungkin Roh
Kudus yang sama telah menempatkan Syahidah Wafa dan membungkus tubuh
sucinya dengan dinamit. Dari rahim Maryam, lahir seorang martir yang
menghapuskan penindasan, sedangkan tubuh Wafa menjadi pecahan peluru
yang menghapuskan keputusasaan dan menjaga tumbuhnya harapan….”
Darine Abu Aisha
Cerita kesyahidan para syahidah tak berhenti sampai di situ. Muncul lagi
syahidah-syahidah yang lain. Di antaranya Darine Abu Aisha, 20, gadis
manis yang cerdas, mahasiswi Universitas An-Najah, Nablus. Ia anak
bungsu dari tujuh bersaudara, dari pasangan Mohammad dan Nabila Aisha.
Suatu hari, di pos pemeriksaan dekat Nablus, ada antrean yang
biasanya harus dijalani warga Palestina agar bisa lewat, dan Darine
berada di antrean yang tak jauh dari bagian depan, dekat dengan teman
baik dan sepupunya, Rashid.
Di sebelah mereka ada seorang perempuan yang menggendong bayi yang
sedang terserang demam tinggi. Tentara penjaga tidak mengizinkan
perempuan itu lewat terlebih dahulu menuju ambulans dan segera membawa
bayinya ke rumah sakit terdekat.
Bayi itu hampir mati, telah membiru karena kurang udara. Walaupun
mendengar permohonan dari orang-orang yang menyaksikan tragedi tersebut,
tentara-tentara itu bersikeras menolak membuat perkecualian apa pun
hingga semua surat selesai diperiksa. Mereka melarang perempuan itu
mendahului Darine dan sepupunya.
Darine kemudian menjelaskan kepada tentara-tentara tersebut dalam
bahasa Inggris bahwa ia bertindak sebagai juru bicara perempuan itu.
Beberapa tentara Israel mulai berbisik dan saling tertawa. Salah seorang
mendekati Darine dan berkata bahwa mereka akan mengizinkan perempuan
itu lewat jika sepupu Darine, yaitu Rashid, mencium bibir Darine.
Darine adalah muslimah yang taat. Tentu ia tidak mungkin melakukan
itu. Ia berusaha berunding denagn tentara itu dan menjelaskan bahwa ia
adalah muslimah yang taat, yang tidak mungkin mengizinkan lelaki yang
bukan suaminya menciumnya.
Tanpa peringatan, salah seorang di antara tentara itu merenggut
jilbab Darine. Tentu Darine merasa terhina. Tetapi, saat itu, bayi tadi
telah sangat kesulitan bernapas, dan ibunya menjerit-jerit. Maka Darine
menyuruh Rashid cepat-cepat mencium bibirnya, sehingga bayi itu bisa
diselamatkan. Sebagaimana yang telah dijanjikan, mereka mengizinkan
perempuan itu dan bayinya menuju ambulans, yang sudah menunggu.
Merasa terhina atas sikap penjajahan Israel tersebut, Darine pun memutuskan untuk melakukan aksi syahid.
Bebepa menit sebelum dia meledakkan sabuk bom di pos pemeriksaan
Maccabin dekat Yerusalem, Darine menelepon ibunya untuk meminta maaf
karena telah menyelinap keluar rumah tanpa izin, dan baru mengucapkan
selamat tinggal. Dalam konteks Palestina saat ini, ucapan “selamat
tinggal” identik dengan perpisahan menuju jihad.
Sikap yang tampak sederhana itu, menelepon untuk meminta maaf karena
telah menyelinap keluar rumah tanpa izin, begitu mengesankan. Bagi
Darine, menyelinap keluar rumah tanpa izin itu lebih buruk, sehingga
meminta maaf adalah hal yang lebih penting daripada memberitahukan bahwa
ia akan segera berangkat ke jalan menuju surga….
Ibunya berusaha mencegahnya. “Aku mencintaimu. Aku menyayangimu. Engkau adalah jantung hatiku… jangan kau lakukan itu…”
Tetapi ketentuan Tuhan berkata lain.
Ayat Al-Akhras
Kisah lainnya yang tak kalah heroik dilakukan oleh Ayat
Al-Akhras, seorang gadis remaja yang cantik. Sebelum melakukan aksi
syahidah, Ayat memberikan pesan. Berbalut busana muslimah hitam, dengan
kafayeh khas Palestina, ia membacakan pesannya dengan suara lembut di
televisi, dua jam sebelum aksi syahidnya. Ia memulai wasiatnya dengan
membaca Bismillah.
“Wahai Al-Quds… wahai Al-Quds… wahai Palestina… wahai Palestina… aku
melakukan ini semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dan kepada
para penguasa Arab, kalian telah cukup tidur. Bangunlah. Laksanakan
kewajiban kalian terhadap Palestina.” Itulah sebagian kutipan pesannya.
Dengan bahasa Arab yang fasih, Ayat terus membacakan wasiatnya. Akhirnya, ia meneriakkan takbir, “Allahu Akbar!”
Tampaknya ia ingin segera mengakhiri wasiatnya dan sudah tidak sabar
lagi ingin melakukan aksinya, menetukan pilihannya untuk menjadi
bidadari surga. Tangannya melambai, untuk terakhir kalinya.
Ayat tumbuh di tengah kisah-kisah agresi Israel dan terusirnya bangsa
Palestina dari tanah kelahirannya. Ibunya, Khdra Kattous, dan ayahnya,
Mohamme Al-Akhras, lahir dan tumbuh di tenda pengungsian di Jalur Gaza.
Orangtuanya tinggal di sana dari perkampungan Arab di dekat Tel Aviv
pada akhir perang 1948.
Hari itu, subuh baru saja usai. Ayat Al-Akhras kembali mambaca
Al-Quran. Ayat-ayat jihad dibacanya berulang-ulang dengan nada bergetar,
sesekali ia berhenti menahan isak tangis.
Menjelang pukul 06.00 waktu Palestina, ia menulis sesuatu di meja
belajar. Sejurus kemudian Ayat sudah berseragam dan bergegas ke dapur
untuk menemui ibunya.
Kepada ibunya, ia pamit hendak pergi ke sekolah. “Ada tugas tambahan,
hari ini boleh jadi merupakan saat terpenting dalam hidup ini. Saya
mohon doa restu Ibu,” ucapnya dengan mata berbinar.
Ibunya tersekat, dia sedikit bingung, heran, dan kaget melihat tingkah
putrinya. “Semoga Allah selalu melindungi dan merahmatimu, anakku. Tapi,
bukankah Jum’at hari libur?”
“Hanya doa Ibu yang nanda harap,” jawabnya. Ayat tak lagi
berkata-kata, ia hanya tersenyum, mencium tangan sang ibu, lalu
memeluknya erat. Kemudian ia menarik tangan adiknya, Sama’ah, 10. Mereka
pun sama-sama bergegas pergi ke sekolah.
Beberapa jam kemudian, pukul 10.00 waktu setempat, Radio Israel
memberitakan ledakan bom di Supermarket Nataynya, dekat Yerusalem.
Peristiwa ini menyebabkan tiga orang tewas dan lebih dari 40 orang
luka-luka. Jantung ibunda Al-Akhras berdegup kencang menyimak kabar itu.
“Jangan-jangan dia…,” bisiknya saat itu.
Firasatnya menguat manakala dia mendapatkan Samaah pulang sendirian
sambil terisak-isak. Dia tak tahu persis ke mana sang kakak pergi. Ayat,
kata dia hanya berpesan, “Jangan cemas dan takut, Allah selalu bersama
orang-orang beriman, sampaikan salam buat semuanya, dan berdoalah,
mudah-mudahan Allah memberi pengampunan dan kemenangan!”
Di kamp pengungsian, ibunda Al-Akhras cemas dengan nasib anaknya.
Bathinnya bertanya-tanya, “Ke mana dia pergi? Apakah dia sudah
mewujudkan impiannya menjadi syahidah?”
Pertanyaan lain bermunculan di benaknya. “Bagiamana dengan impiannya
yang lain? Soal pinangan, rencana pernikahan, gaun pengantin yang sudah
dijahitnya sendiri? Bukankah dia juga bercita-cita untuk melahirkan
anak-anak, kemudian membina mereka menjadi mujahid-mijahid tangguh?”
Sementara pikiran bertanya tanya, qalbunya mendapat isyarat bahwa calon mempelai itu telah syahid dalam aksi bom.
“Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Semoga Allah SWT mencatatnya
sebagai syahidah. Mudah-mudahan dia juga bisa menjadi pengantin
Palestina yang bisa melahirkan kehormatan dan kemerdekaan bagi umat dan
bangsanya,” demikian ucapan sang ibu ketika mendapat kepastian
beritanya.
Sebelumnya, Issa Farah dan Saa’id, dua sahabat Al-Akhras, gugur diterjang peluru helikopter Israel.
Ayat Al-Akhras, yang lahir 20 Februari 1985 di Kamp Dheishes, tercatat
sebagai siswa kelas tiga sekolah menengah atas. Ia, menurut ABC News,
termasuk anak yang rajin belajar dan cerdas. Sampai saat-saat menjelang
syahidnya, ia masih rajin menasihati teman-temannya untuk terus belajar
dan belajar.
“Penguasaan ilmu dan teknologi amat penting, dan diperlukan untuk mendukung perjuangan kita, apa pun bentuknya.”
Hayfaa, teman baiknya, berujar, “Dia selalu menasihati kami bahwa
belajar harus tetap berjalan meski bahaya dan rintangan mengancam di
sekeliling kita.”
Tentang jihad, Ayat berkata, ”Jihad itu kewajiban setiap muslim,
termasuk wanita. Mengapa kita harus membiarkan nyawa kita terenggut
sia-sia oleh kebiadaban Zionis Israel?” Kematian seorang mujahid, kata
dia, akan membangkitkan keberanian mujahid-mujahid lainnya, bukan
sebaliknya.
Meski tahu bahwa syahidah adalah cita-cita tertinggi anaknya, ibunda
Al-Akhras tetap saja merasa kehilangan. Dengan air mata berlinang, dia
mengulang kata-kata sang anak ketika berdiskusi soal kewajiban jihad
bagi setiap muslim warga Palestina.
“Apa nikmatnya hidup di dunia ketika kematian selalu mengintai kita?
Mana yang lebih indah, mati dalam ketidakberdayaan dan kehinaan, atau
gugur di medan jihad?”
Sama’ah, adik sepupu sekaligus teman terdekat Ayat, merasakan hal
yang sama. Sambil menangis dia berkisah tentang saat-saat terakhir
bertemu dengannya. “Saya lihat cahaya di mukanya dan rona kebahagiaan
tak pernah dilihat sebelumnya.”
Saat itu, kata Sama’ah, sambil memberi sepotong cokelat manis Ayat
berkata lirih, “Shalat dan doakan agar Kakak sukses melaksanakan tugas
suci ini.” “Tugas apa?” Sama’ah bertanya.
“Hari ini kamu akan mendengar berita baik. Mungkin inilah hari
terbaik dalam hidupku. Inilah hari yang lama aku nantikan. Tolong
sampaikan salam hormatku pada Akh Shaadi,” tutur Ayat sambil memberikan
secarik kertas.
Shaadi Abu Laan, 20, calon suami Ayat, termangu beberapa saat ketika
kabar itu sampai kepadanya. Dia nyaris tak percaya Ayat pergi begitu
cepat mendahuluinya. “Juli ini,” kata Shaadi, “kami sudah berencana
untuk resmi berumah tangga, begitu Ayat lulus ujian. Kami akan menempati
rumah sederhana yang belum didekor.”
Mereka sudah satu setengah tahun ber-khitbah (saling meminang).
Keduanya bahkan telah menyiapkan nama “Adiyy” untuk bayi pertamanya.
“Allah ternyata punya rencana lain,” ucap Shaadi. “Semoga kami bisa
berjumpa di surga kelak, dia mencintai agamanya lebih dari apa pun.”Ya,
Ayat Al-Akhras lebih memilih menjadi bidadari di surga. Semoga Allah SWT
mengabulkannya..,,,aaammiinn.,.,
sumber : majalah-alkisah