Powered By Blogger

Sabtu, 21 Mei 2016

SHOLAWAT ASNAWIYYAH


Sholawat Asnawiyyah adalah Sholawat Karangan dari KH R. Asnawi dari Kudus yang merupakan Waliyullah dan Ulama’ Besar Indonesia pada Tahun 1900an. Beliau dimakamkan di Komplek Pemakaman Wali di Makam Menara Kudus. Sholawat ini diciptakan beliau karena beliau ingin berdo’a dan bermunajah kepada Allah, agar bangsa Indonesia diberi keamanan, dan diselamatkan dari penjajahan, serta diberi cahaya Quran dan yang hatinya sedang gelap, diterangi oleh Cahaya Qur’an dan ditetapkan Imannya. Sholawat Asnawiyyah ini juga dikenal sebagai Lagu/Sholawat Wajib di Madrasah Qudsiyyah – Kauman Menara Kudus Jawa Tengah.


Suluk Ya Mustami’un (Pembuka Sholawat Asnawiyyah)

إخوان يا مستمعون عرفنا الا شيئا کاملا إلا بهداية الله وتوفيقه فضلا منه وجودا
ألحمد لله فی الأولی فی الأخرة ولعل الله أن ينفعنابها إن شاء الله
احن إلی شفيعی فی راض شمس الضحی قرم الوجود بمحمد بدر التمام إلی العلا والگون أشرق من ديار محمد
تعالی الله جل جلاله قد مر الدنيا بنور محمد
بجاه المصطفی زال الجفا ولقی المصطفی وعيش الوری بمحمد
غن الفقرآء مديح المصطفی  يافوز من يحلومادحا محمد

Teks bacaan Sholawat Asnawiyyah
يا رب صل علی الرسول محمد سر العلا Yâ Robbi sholli ‘alâr-Rosûli Muhammadin sirril ‘ulâ
والأنبياء والمرسلين الغر ختما أولا Wal anbiyâ-i wal mursalînal ghurri khotman awwalâ
يا رب نور قلوبنا بنور قرآن جلا Yâ Robbi nawwir qolbanâ bi nûri Qur-ânin jalâ
وافتح لنا بدرس أو قراءة ترتلا Waftah lanâ bidarsin au qirô-atin turottalâ
وارزق بفهم الأنبياء لنا وأي من تلا Warzuq bifahmil anbiyâ, lanâ wa ayya man talâ
ثبت به إيماننا دنيا وأخری گاملا Tsabbit bihi îmânanâ dunyâ wa ukhrô kâmilâ
أمان أمان أمان أمان  بإندونسيا رايا أمان Amân amân amân amân bi Indûnisiyâ Rôyâ amân
أمين آمين آمين آمين يارب يارب العالمين Âmîn âmîn âmîn âmîn Yâ Robb Yâ Robbal ‘âlamîn
آمين آمين آمين آمين ويا مجيب السائلين Âmîn âmîn âmîn âmîn wa Yâ mujîbas-sâ-ilîn

Suluk Asma Allah (Penutup Sholawat Asnawiyyah)
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﺍﺧﻴﺮ ﻳﺎ ﻭﺩﻭﺩ ¤ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻇﺎﻫﺮ ﻳﺎ ﻣﺎﺟﺪ
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﺑﺎﻃﻦ ﻳﺎ ﺷﻬﻴﺪ ¤ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﺣﻖّ ﻭﻳﺎ ﻭﻛﻴﻞ
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﺣﻲّ ﻭﻳﺎ ﻗﻴّﻮﻡ ¤ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﺑﺮّ ﻭﻳﺎ ﺗﻮّﺍﺏ
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻣﺘﻌﺎﻟﻰ ﻳﺎ ﻭﺍﻟﻰ ¤ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻣﻨﺘﻘﻢ يا ﺣﻤﻴﺪ
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻋﻔﻮّ ﻳﺎ ﻣﻌﻴْﺪ ¤ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻣﻘﺴﻂ ﻳﺎ ﺑﺪﻳْﻊ
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﺟﻤﻴْﻊ ﻳﺎ ﺭﺷﻴْﺪ ¤ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻏﻨﻲّ ﻳﺎ ﻣﻐﻨﻲّ
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻧﺎﻓﻊ ﻭﻳﺎ ﻇﺎﺭّ ¤ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻣﺎﻧﻊ ﻭﻳﺎ ﻧﻮْﺭ
ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﻭﺍﺭﺙ ﻭﻳﺎ ﻫﺎﺩﻯ ¤ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﺻﺒﻮﺭ ﻭﻳﺎ ﺑﺎﻗﻰْ
ﻣﻠﻚ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺫﺍﺍﻟﺠﻼﻝ ﻭﺍﻹﻛﺮﺍﻡ
####
Mohon maaf jika ada kesalahan penulisan

Rabu, 18 Mei 2016

KAROMAH “Si Linggis” dari Desa Cidahu TASIKMALAYA


Ada seorang wali besar di Tanah Jawa. Sejak muda ia sudah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya yang sangat tajam setiap kali mengkaji ilmu-ilmu agama dengan pendekatan tasawuf.
Di Desa Cidahu, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1884, lahirlah seorang jabang bayi yang kelak menjadi ulama besar. Orangtuanya memberinya nama Abdul Fatah. Sejak muda ia sudah tertarik pada kehidupan rohaniah dengan menimba ilmu tarekat pada K.H. Sudja’i, guru mursyid Tarekat Tijaniyah, selama tujuh tahun sejak 1903.
Selama menjadi santri, Abdul Fatah terkenal dengan sebutan “Si Linggis”, karena analisisnya terhadap berbagai ilmu agama yang sangat tajam. Terutama ketika ia menganalisis dengan menggunakan ilmu nahu dan saraf dengan pendekatan tasawuf. Ia suka belajar dengan membaca berbagai kitab, sehingga beberapa pelajaran yang belum sempat disampaikan oleh gurunya sudah ia kuasai.
Suatu hari, ia membaca ayat 17 surah Al-Kahfi, “Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, dia termasuk orang yang diberi petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, dia sekali-sekali tidak akan mendapatkan seorang wali yang mursyid.” Ia lalu bertanya kepada Kiai Sudja’i, “Siapakah wali mursyid yang dimaksud dalam ayat ini?” Kiai Sudja’i menjelaskan perihal wali mursyid sebagai guru tarekat, sementara mencari wali mursyid merupakan keharusan. Tapi, karena Kiai Sudja’i mengaku bukan wali mursyid, Abdul Fatah disarankan untuk mencari wali mursyidnya.
Maka berangkatlah Abdul Fatah mencari wali mursyid dengan mengunjungi para ulama di Jawa dan Sumatra. Karena belum menemukan, ia lalu mencarinya ke Timur Tengah, khususnya Mekah. Maka pada 1922 ia pun berangkatlah, dengan membawa seluruh anggota keluarganya. Sampai di Singapura, kapal yang mereka tumpangi rusak. Terpaksalah ia bermukim di Negeri Singa itu. Ia tinggal di Kampung Watu Lima, kemudian di Kampung Gelang Serai, selama lima tahun. Di sanalah ia, suatu hari, bertemu Syekh Abdul Alim Ash-Shiddiqy dan Syekh Abdullah Dagistani, yang mengajarkan Tarekat Sanusiyah.
Pada 1928, setelah memulangkan keluarganya ke Tasikmalaya, ia berangkat ke Mekah bersama beberapa jemaah haji Indonesia, seperti K.H. Toha dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya, dan K.H. Sanusi dari Pesantren Syamsul Ulum, Gunungpuyuh, Sukabumi (lihat Alkisah edisi 17/III/2005, Khazanah). Selama di Mekah, Abdul Fatah bergabung dengan Zawiyah Sanusiyyah di Jabal Qubais, mengaji kepada Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi selama lima tahun.
Karena sangat alim, belakangan Abdul Fatah mendapat kepercayaan membaiat atau menalkin murid tarekat yang baru masuk. Selama belajar tarekat kepada Syekh Ahmad Syarif, ia sempat mengalami berbagai ujian. Suatu hari, ketika tengah mengajar, Syekh Ahmad Syarif mengamuk dalam majelisnya. Apa saja yang ada di dekatnya dilempar ke arah murid-muridnya. Semua muridnya lari berhamburan karena takut. Namun, ada seorang murid yang bergeming, tetap diam di tempat. Dialah Abdul Fatah.
Kursi Istimewa
Sebagai guru mursyid tarekat, Syekh Ahmad Syarif biasa duduk di kursi istimewa, dan tak seorang pun berani mendudukinya. Mengapa? Sebab, siapa yang berani mendudukinya, badannya akan hangus. Suatu hari Syekh Ahmad memerintahkan Abdul Fatah untuk menggantikannya mengajar. Maka dengan tenang Abdul Fatah duduk di kursi istimewa itu, tanpa ada kejadian apa pun yang mencelakakannya.
Akhirnya, pada suatu hari, Syekh Ahmad Syarif memanggilnya. Ia menceritakan, semalam Rasulullah SAW memerintahkan untuk melimpahkan kekhalifahan Tarekat Sanusiyah kepada Abdul Fatah Al-Jawi untuk dikembangkan di negerinya. Sejak itu Abdul Fatah mendapat gelar Syekh Akbar Abdul Fatah. Setelah itu, lebih kurang dua tahun kemudian, Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi pun wafat.
Pada 1930, Syekh Akbar Abdul Fatah pulang kampung dengan membawa ajaran Tarekat Sanusiyah, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tarekat Idrisiyah karena tiga alasan. Pertama, untuk berlindung dari tekanan politik kaum kolonialis Belanda. Kedua, kandungan ajaran kedua aliran itu sama, karena Idrisiyah juga merupakan anak Tarekat Sanusiyah, yang sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad bin Idris. Ketiga, untuk mendapatkan berkah Syekh Ahmad bin Idris atas keistimewaan lafaz zikirnya yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan NabiKhidlir, yaitu Fi kulli lamhatin wa nafasin ‘adada ma wasi’ahu ‘ilmullah ....
Di Cidahu, Syekh Akbar Abdul Fatah menghadapi berbagai tantangan, baik dari penjajah Belanda maupun para jawara. Namun semua itu ia hadapi tanpa takut sedikit pun. Tiga tahun kemudian ia mulai mendirikan beberapa zawiah di beberapa tempat, terutama di Jawa Barat, masing-masing dilengkapi dengan sebuah masjid, Al-Fatah. Pada 1930, ia sempat berdakwah sampai ke Batavia, singgah di Masjid Kebon Jeruk, kini di kawasan Jakarta Kota. Ia juga sempat mengembangkan tarekat di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Suatu hari ia mengembangkan tarekat di Masjid Al-Falah di Batutulis, kini di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Di sana ia juga harus menaklukkan para jawara. Dan sejak itu syiar dakwah Islam terus berkembang. Banyak muridnya yang kemudian mewakafkan tanah untuk digunakan sebagai zawiah. Ia juga membangun sebuah asrama untuk tempat tinggal para santri dari jauh. Di tengah kesibukannya mengajar di Batavia, dua minggu sekali ia menyempatkan diri mengajar di kampung halamannya.
Pada 1940, karena pesantrennya di Cidahu sudah tidak bisa menampung jemaah, ia lalu memindahkannya ke Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya.
Sebagai wali, Syekh Akbar Abdul Fatah memiliki banyak karamah. Suatu hari, dalam perang kemerdekaan, pasukan Hizbullah (Yang didirikan KH Hasyim asy'ari pendiri NU), yang terdiri dari para santri pimpinan Syekh Akbar Abdul Fatah, dibombardir oleh pesawat Belanda. Namun, bom-bom itu tidak meledak. Apa pasal? Karena Syekh Akbar Abdul Fatah telah membekali para santrinya dengan air yang telah didoainya. “Air doa” sang wali inilah yang, atas izin Allah SWT, menangkal bom-bom penjajah kafir tersebut.
Perampok Arab
Suatu hari seorang nelayan terdampar sampai ke pantai Australia. Ia kemudian berdoa, “Ya Allah, mengapa Engkau asingkan aku yang lemah ini di sini? Padahal, aku hanya bermaksud mencari nafkah buat anak-istriku. Ya Allah, datangkanlah penolong.” Ketika itulah ia melihat seorang ulama bertubuh tinggi besar berpakaian serba putih. Tiba-tiba ia memindahkan perahu nelayan itu ke tempat asalnya. Setelah selamat, nelayan itu menawarkan ikan besar yang baru saja ditangkapnya kepada ulama penolongnya itu.
Dengan tersenyum, ulama tersebut berkata, “Aku tidak membutuhkan ikan itu. Jika engkau ingin menjumpaiku dan menjadi muridku, datanglah ke Pagendingan, Tasikmalaya.” Setelah itu ulama tinggi bear itu pun lenyap dari pandangan mata. Selang beberapa minggu kemudian, nelayan itu datang ke Pesantren Pagendingan. Di sana ia bertemu seorang ulama yang fisik dan gerak-geriknya persis seperti yang ia lihat di pantai Australia. Ia tiada lain adalah Syekh Akbar Abdul Fatah.
Karamah yang lain terjadi ketika Syekh Akbar Abdul Fatah berada di Mekah. Suatu hari ia ingin berziarah ke makam Rasulullah SAW di Medinah. Membawa bekal secukupnya, bersama beberapa kiai dari Jawa, ia berjalan kaki menuju Medinah. Di tengah perjalanan, rombongan itu dihadang perampok bersenjata lengkap. Rombongan peziarah itu terkepung oleh perampok yang mengendarai kuda dengan menghunus pedang. Syekh Akbar lalu memerintahkan rombongannya melepaskan apa saja yang ada di tangannya ke kanan dan kiri, sebagai kepasrahan seorang hamba yang lemah tak berdaya.
Sambil melepaskan apa yang dimiliki, Syekh Akbar berteriak dengan suara lantang, ”Ash-shalatu was salamu ‘alaika ya Rasulallah! Qad Dhaqat hilati, adrikni ya Rasulallah!” (Selawat dan salam serajahtera atas Tuan, wahai Rasulullah! Mohon lenyapkan rintangan jalan kami menuju engkau, wahai Rasulullah!). Ajaib! Kontan para perampok itu berteriak-teriak kesakitan sambil memegang leher mereka, “Ampun ya Syekh Jawa, ampun ya Syekh Jawa! Panas, panas!”
Pemimpin perampok itu lalu minta maaf, mohon dibebaskan dari siksaan. Maka Syekh Akbar pun mendekati dan menepuk pundak para perampok itu satu per satu. Barulah rasa sakit karena panas tak terkirakan di tenggorokan itu reda. Seketika itu pemimpin perampok menyatakan bertobat, dan bersedia mengantarkan rombongan ke mana saja. “Kalian adalah bangsa Arab yang berdekatan dengan kampung Rasulullah SAW, sedangkan kami datang dari negeri yang sangat jauh – tapi demi berziarah kepada Rasulullah SAW. Tidakkah kalian malu melakukan hal yang tidak terpuji ini? Sudah sepantasnya kalian lebih berbangga daripada kami, karena negeri kalian dikunjungi banyak orang dari seluruh pelosok negeri.”
Syekh Akbar Abdul Fatah wafat pada 1947 dalam usia 63 tahun, dimakamkan dalam kompleks Pesantren Al-Fathiyah al-Idrisiyah, Jalan Raya Ciawi Km 8, Kampung Pagendingan, Kecamatan Cisanyong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sejak itu pemimpin Tarekat Idrisiyah diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Dahlan. Pada 11 September 2001 Syekh Dahlan wafat, dan tongkat kepemimpinan tarekat diserahkan kepada Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan.
Baca Kisah Karomah Para Wali Lainnya hanya di :
Kumpulan Karomah Syaikh Abdul Qodir Jailani Ra
Dan
Habib Gus Dur Wali Ke-10

Senin, 16 Mei 2016

CERITA NENEK PEMUNGUT DAUN YANG MENGHARAP SYAFA'AT ROSULULLOH SAW



Di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.

Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup. Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

“Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepadanya.”

Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Alloh swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Alloh. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasululloh saw.

SEMOGA ADA BERKAHNYA/.,.,.,,.,.,AAAAmminnn

MEMAHAMI 'TURI-TURI PUTIH' ciptaan Kanjeng Sunan Kali Jaga



Turi-turi putih
                Tak tandur ning kebun agung
                Seleret tiba nyemplung
                Mbok ira kembange opo.
INI  tembang Jawa kuno, yang dulu kerap ditembangkan oleh bocah-bocah yang bermain di halaman tatkala rembulan lagi bundar-bundarnya. Biasa ditembangkan bocah angon yang tengah menjaga kambingnya, atau anak sekolah ketika diminta gurunya untuk tampil di depan kelas. Kini tembang itu tidak lagi berkumandang. Anak-anak sekarang sebagian malah tak mengenalnya lagi.  Padahal betapa tingginya makna yang terkandung dalam Turi-turi putih. Betapa dalam ajaran yang berada dalam larik-larik tembang itu.
                Tembang itu dibuka dengan kata turi. Menurut Ki Sudrun, personel kelompok musik Kiai Kanjeng Yogyakarta, turi adalah bunga dari pohon turi. Bunga atau kembang. Tembang ini segera mengajak kita merenung: adakah yang lebih indah dari kembang? Kembang adalah perlambang keindahan, kerendahhatian, apik, dan tepat. Manusia semestinya mengikuti laku kembang, harus selalu berupaya untuk menjadi kembang, harus senantiasa berproses dan bertumbuh kembang. Tidak boleh statis supaya tidak sama kodratnya dengan batu, bangku, atau benda mati lainnya.
                Manusia kembang adalah manusia yang manfaat. Setiap pribadi perlu  berproses menjadi kembang-kembang: bagi dirinya dan  lingkungannya. Berproses, ibarat melewati godogan dalam kuali, berproses untuk matang dan menjadi sesuatu. Proses ini panjang dan berat. Sayangnya orang sekarang kerap tidak mau melewati proses, maunya langsung enak, instan.
                Tembang kita ini mengajak kita menjadi kembang turi. Menjadi kembang saja sudah indah, apalagi menjadi turi-turi putih. Kembang kesucian. Putih adalah nurani. Dalam semua warna pada hakikatnya ada unsur putihnya. Putih menuju kesempurnaan dan kesucian. Suci angan-angan berarti menjaga kesucian pikiran dari rusuh dan selingkuh. Suci kaki berarti tidak menendang orang. Suci tangan bermakna tidak memukul liyan, suci dalam arti agama berarti wudhu atau toharoh.
                Begitulah, dari Turi-turi Putih kita telah dapatkan ajaran mulia untuk selalu berproses menjadi kembang, menjadi sosok yang tepat, indah, dan manfaat. Terus mencoba menjadi turi-turi yang suci.
                Larik berikutnya adalah tak tandur ning kebun agung. Saya tanam di kebun agung. Apa kebung agung? Kebun agung bukan sekadar bumi yang datar tempat berkebun. Di sini, dalam tembang yang konon digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijogo ini, kebun agung dapat dimaknai sebagai kebun jiwa kita. Maka pertanyaannya: maukah kita memanam turi-turi putih ke dalan bumi agung jiwa kita? Maukah kembang kesucian kita tanam dalam bumi jembar hati nurani kita?
Hai nafsu mutmainah, jiwa yang tenang masuklah ....dst
                Seleret tiba nyempung. Seleret menggambarkan sebuah proses dalam keanekaragaman, dalam pelangi warna. Semua diri kita berproses dalam warna yang berbeda-beda. Dalam proses pengalaman, pembelajaran, dan pendewasaan yang berlainan, dengan agama dan keyakinan berbeda, merah, kuning, hijau, nila, ungu. Namun apapun warnanya maka cemplungkanlah kedalam jiwa yang jernih. Maukah bulu, kuku, tulang, tubuh kita kita nyemplung ke dalam nurani? Maukah turi-turi putih kita benamkan ke bumi jembar jiwa kita?
                Manakala kita berani memasuki kedirian kita, maka kita menjadi gampang tafakur, mau merenung. Maka kita tergerak untuk selalu introspeksi: Siapa sesungguhnya diri kita? Itulah yang disebut dalam ending tembang itu sebagai ungkapan pertanyaan “mbok iro kembange opo?”
                Tanyakan pada diri kita setiap waktu. Kembang apakah sejatinya aku? Kembang mawar yang harum baunya, ataukah kembang gaceng yang busuk atau kembang kamboja beraroma kematian? Kitalah yang menentukan mau menjadi kembang jenis apa? Ini bukan soal nasib tetapi lebih merupakan pilihan.
                Tembang Turi-turi Putih berhenti sampai di sini, sampai pada pertanyaan mbok iro kembange opo. Kalau dinyanyikan lagi bakal kembali ke bait awal berputar bagai siklus roda pedati. Mirip lagu dolanan berkarakter rap: Joko Penthil Thela-thelo ayo lo... lopis mambu ayo mbu.....mbukak tenong... ayo nong.... dan seterusnya.
                Tetapi masyarakat lazimnya suka menambahkan barang satu atau beberapa bait lagi dari tembang Turi-turi Putih. Sah saja. Mari kita coba menambah dua bait yang lazim digunakan:
                Kembang-kembang nongko
                Kembang nongko arum gandane
                Yen kepingin gak tumbal nyowo
                Ora tinggal katresnane
                Kembang-kembang kacang
                Yen disawang apik rupane
                Yen kepingin uripmu padang
                Ojo adoh karo asale
                Tetapi tembang bukan pasal undang-undang yang monotafsir. Tembang, seperti juga karya puisi dan karya seni lainnya, memuat sejuta tafsir. Jadi, monggo kalau sampeyan punya tafsir sendiri terhadap Turi-turi Putih.

Filosofi dan Makna Tembang Lir-Ilir Sunan Kalijaga Sebuah Hakikat Kehidupan

Pendahuluan.
Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali songo yang terkenal. Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1455 Masehi, pada waktu muda Sunan Kalijaga bernama Raden Said atau Jaka Said selain itu disebut juga dengan nama Syekh Malaya, Lokajaya, raden Abdurrahman dan pangeran tuban[1] . Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Sunan Kalijaga sangat bersifat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka masyarakat harus didekati secara bertahap demi tahap, prinsipnya mengikuti sambil mempengaruhi. Itulah salah satu taktik dakwah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Beliau selalu memperkenalkan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/ kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami) yang telah ada sebelumnya. Beliau terkenal dengan dakwahnya yang ajarannya terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Seni suara suluk karya Sunan Kali Jaga yang terkenal salah satunya adalah tembang lir-ilir.
Pembahasan
Lagu Ilir Ilir pada zaman Kerajaan Jawa Islam sangat populer dinyanyikan sebagai tembang dholanan dikalangan anak-anak dan masyarakat di Jawa. Dalam orde lama dan orde baru nyanian ini terdaftar sebagai lagu wajib  dalam lembaga-lembaga umum di Jawa timur dan Jawa Tengah. Namun pada era reformasi sekarang ini lagu tersebut jarang dinyanyikan kalangan anak-anak bahkan sudah tidak pernah lagi, Lagu ini mulai kembali digemakan baik dalam nuansa religius sebagaimana ditampilkan oleh grup musik  Kiai Kanjeng yang digawangi seniman dan budayawan Emha Ainun Najib maupun dalam konsep aslinya yaitu dolanan yang mulai dipopulerkan oleh grup band bernama Rich Band.
Sunan Kalijaga sangat akrab ditelinga rakyat apalagi didaerah Jawa, Beliau sangat terkenal karena berbagai ciptaanya dan dakwahnya .Salah satunya menciptakan tembang  seperti Tembang Rumekso in Wengi dan tembang Lir Ilir. Lir-ilir merupakan salah satu tembang Jawa di gunakan Sunan Kalijaga untuk melakukan dakwah Islam di Jawa.  Tembang lir-ilir tersebut berbunyi :
“Lir-ilir, Lir Ilir , Tandure wus sumilir , Tak ijo royo-royo ,Tak sengguh temanten anyar, Cah Angon, Cah Angon , Penekno Blimbing Kuwi , Lunyu-lunyu penekno  Kanggo Mbasuh Dodotiro, Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing, pinggir , Dondomono, Jlumatono , Mumpung Padhang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane , Yo surako surak Iyo”
Tembang lir-ilir ini populer dalam berbahasa jawa karena diciptakan di Jawa, arti dalam bahasa indonesianya kurang lebih seperti ini :
“Sayup-sayup, Sayup-sayup bangun (dari tidur). Tanaman-tanaman sudah mulai bersemi, demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru. Anak-anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu, walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci pakaian. Pakaian-pakaian yang koyak disisihkan. Jahitlah benahilah untuk menghadap nanti sore. Selagi sedang terang rembulannya. Selagi sedang banyak waktu luang. Mari bersorak-sorak ayo”
Tembang ini memiliki makna yang mendalam dan makna khusus karena tembang ini bukan tembang biasa. Jika kita dapat memaknai nya secara mendalam, tembang ini sebagai inspirasi kacamata kehidupan kita. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliaupun sering memainkannya. Dalam alinea pertamanya berbunyi “Lir-ilir-Lir-ilir, Tandure wus sumilir , ijo royo-royo, Tak sengguh temanten anyar” mempunyai makna bagunlah bukan berarti bangun dari tempat tidur. Tetapi kita diminta bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas, bangun dari kebodohan tentang tidak mengenal Allah, bangun dari sifat yang buruk penyakit hati, bangun dari kesalahan-kesalahan dan hendaknya kita senantiasa mohon ampun kepada Allah dan brdzikir untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. “tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak, senggo temanten anyar”. Bait ini mengandung makna  jika kita telah berdzikir kita akan mendapatkan banyak manfaat bagi kita sendiri dan menghasilkan buah makrifat atas izin Tuhannya. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya msih dalam level pertama.
Selanjutnya makna Cah Angon-cah angon Penekno Blimbing Kuwi Lunyu-lunyu penekno Kanggo mbasuh dodotiro . “Cah angon” ? kenapa kata yang di pilih Sunan Kalijaga adalah cah angon, bukan presiden atau para pengusaha, ini menjadi pertanyaan besar buat kita ? Sunan Kalijaga memilih kata “cah angon” karena pada dasarnya cah angon adalah pengembala, Pengembala mempunyai makna seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah. Pengembala dalam tembang disini masksudnya dapatkah kita menggembalakan dan menahan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya dan menahan hal-hal yang membuat kita akan cenderung melakukan dosa. Kita harus menentang hawa nafsu yang dapat menejerumuskan kita  ke lembah syetan yang tidak diridhoi Allah, dengan cara berpegang teguh dengan rukun Islam yang yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah yang di ibaratkan rukun islam.  Jadi meskipun sulit, kita harus sekuat tenaga tetap berusaha menjalankan rukun islam yang merupakan dasar dari agama Islam meskipun banyak halangan dan rintangan. Penekno ? dalam bahasa indonesia adalah “panjatlah” ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk memeluk Islam dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejek para pemimpin Islam Nabi dan Rosul dalam menjalankan syari’at Islam. Walaupun dengan penuh rintangan baik harta, benda maupun tahta dan godaan  lain maka kita harus tetep bertaqwa kepada Allah.
Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing pinggir”, yang maknanaya Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita hindari dan kita tinggalkan, perbaiki kehidupan dan akhlak kita, seperti merajutpakaian hingga menjadi pakaian yang indah ”karena sebaik-baik pakaian adalah pakaian bertaqwa kepada Allah. Dondomono, Jlumatono, Kanggo Sebo Mengko sore ini Pesan dari para wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu didunia baik amal baik maupun amal buruk. Maka perbaikilah  dan sempurnakanlah ke-Islaman kita agar kita selamat pada hari pertanggung jawaban kelak. Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Allah SWT.
Mumpung padhang rembulane Mumpung jembar kalangane Yo surako surak iyo!!! Selagi kita masih ada kesempatan, kita harus senantiasa mohon ampun kepada Allah, menahan hawa nafsu duniawi yang dapat menjermuskan kita, dan senantiasa bertaqwa kepada Allah sebagai bekal pertanggung jawaban kita kelak di akhirat. Begitulah, para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata kita, ketika usia masih menempel pada hayat kita ketika kita masih di beri kesehatan . Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai.
Dari uraian diatas kita melihat bagaimana Sunan Kalijaga secara jenius menerjemahkan ajaran Islam dalam rangkaian syair dan tembang pendek yang memiliki makna mendalam mengenai perlunya seseorang dalam memperhatikan hidup kita selama di dunia ini. Jangan hanya berorientasi pada keduniawian melainkan berorientasikan pada kehidupan dalam alam kekekalan yaitu akhirat. Sehingga kehidupan dunia dan akhirat harus seimbang. Sunan Kalijaga mengingatkan manusia bahwa kita mempunyai  pertanggung jawaban pribadi kepada Tuhan, Karena semua perbuatan kita akan dimintai pertanggung jawaban dari kita. Sunan Kalijaga menawarkan Islam sebagai jalan dan bekal untuk menghadapi kematian dan pertanggungjawaban akhir. Dengan berbekal mengenai keislaman dengan Rukun Imannya yaitu Sahadat, Sholat, Zakat, Shaum, Haji dan senantiasa melakukan hal-hal yang baik menjauhi perbuatan buruk untuk mendapatkan kehidupan yang baik diakhirat nanti
Kesimpulan
            Tembang lir-ilir ciptaan Sunan Kalijaga ini mempunyai makna yang mendalam dan dapat menginspirasi hakikat kehidupan kita. Karena dalam tembang jawa ini mengandung unsur-unsur ajakan untuk kembali kepada Allah, senantiasa mengingat kepada Allah, dan menahan hawa nafsu agar kita tidak terjerumuskan ke lembah yang tidak di ridho’i Allah, selalu mohon ampun kepada Allah. Sunan Kalijaga juga meningatkan kepada kita bahwa perbuatan baik dan amalan menempati peran penting termasuk Sahadat, Sholat, Zakat, Haji, Puasa dalam Islam sebagai bekal yang menentukan keselamatan seseorang yang harus dibawa dan dipertanggungjawabkan saat mereka mengalami kematian kelak. Lagu Lir Ilir memberi kita pelajaran dan pesan, hendaknya manusia menyadari, bahwa hidup di dunia ini tidak akan lama dalam bahasa jawa diibaratkan “urip iku sekedar mampir ngombe” yang maknanya hidup itu sementara, seyogjanya kita semua harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sehingga kelak kita akan siap ketika tiba saatnya kita semua dipanggil menghadap kehadirot Allah SWT.

Minggu, 15 Mei 2016

KATA-KATA MUTIARA SUNAN KALI JAGA

Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan umat Muslim Nusantara khususnya di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makam beliau berada di Kadilangu, Demak.


Riwayat Singkat Sunan Kalijaga

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Kelahiran Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.

Kata Bijak Filosofi Jawa, yang diajarkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga :
1. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
2. Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi
orang lain disekitar kita,