Pendahuluan.
Sunan
Kalijaga merupakan salah satu wali songo yang terkenal. Sunan Kalijaga lahir
pada tahun 1455 Masehi,
pada waktu muda Sunan Kalijaga bernama Raden Said atau Jaka Said selain itu disebut
juga dengan nama Syekh Malaya, Lokajaya, raden Abdurrahman dan pangeran tuban[1] . Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban keturunan
dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Sunan Kalijaga sangat bersifat
toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka masyarakat harus didekati secara bertahap demi
tahap, prinsipnya mengikuti sambil mempengaruhi. Itulah salah satu taktik
dakwah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami,
dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Beliau selalu memperkenalkan agama
secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/ kesenian daerah (adat lama yang
ia beri warna Islami) yang telah ada sebelumnya. Beliau terkenal dengan
dakwahnya yang ajarannya terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk. Seni suara
suluk karya Sunan Kali Jaga yang terkenal salah satunya adalah tembang lir-ilir.
Pembahasan
Lagu Ilir Ilir pada zaman Kerajaan Jawa Islam sangat populer
dinyanyikan sebagai tembang dholanan dikalangan anak-anak dan masyarakat di Jawa.
Dalam orde lama dan orde baru nyanian ini terdaftar sebagai lagu wajib dalam lembaga-lembaga umum di Jawa timur dan
Jawa Tengah. Namun pada era reformasi sekarang ini lagu tersebut jarang
dinyanyikan kalangan anak-anak bahkan sudah tidak pernah lagi, Lagu ini mulai
kembali digemakan baik dalam nuansa religius sebagaimana ditampilkan oleh grup
musik Kiai Kanjeng yang
digawangi seniman dan budayawan Emha Ainun Najib maupun dalam konsep aslinya
yaitu dolanan yang mulai dipopulerkan oleh grup band bernama Rich Band.
Sunan Kalijaga sangat akrab ditelinga rakyat apalagi didaerah Jawa,
Beliau sangat terkenal karena berbagai ciptaanya dan dakwahnya .Salah satunya
menciptakan tembang seperti Tembang Rumekso
in Wengi dan tembang Lir Ilir. Lir-ilir merupakan salah satu
tembang Jawa di gunakan Sunan Kalijaga untuk melakukan dakwah Islam di Jawa. Tembang lir-ilir tersebut berbunyi :
“Lir-ilir, Lir
Ilir , Tandure wus sumilir , Tak ijo
royo-royo ,Tak sengguh temanten anyar, Cah Angon, Cah Angon , Penekno
Blimbing Kuwi , Lunyu-lunyu penekno Kanggo Mbasuh Dodotiro, Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing, pinggir , Dondomono,
Jlumatono , Mumpung Padhang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane ,
Yo surako surak Iyo”
Tembang lir-ilir
ini populer dalam berbahasa jawa karena diciptakan di Jawa, arti dalam bahasa
indonesianya kurang lebih seperti ini :
“Sayup-sayup,
Sayup-sayup bangun (dari tidur). Tanaman-tanaman sudah mulai bersemi, demikian
menghijau bagaikan gairah pengantin baru. Anak-anak penggembala, tolong
panjatkan pohon blimbing itu, walaupun licin tetap panjatlah untuk mencuci
pakaian. Pakaian-pakaian yang koyak disisihkan. Jahitlah benahilah untuk
menghadap nanti sore. Selagi sedang terang rembulannya. Selagi sedang banyak
waktu luang. Mari bersorak-sorak ayo”
Tembang ini memiliki makna yang mendalam dan makna khusus karena
tembang ini bukan tembang biasa. Jika kita dapat memaknai nya secara mendalam,
tembang ini sebagai inspirasi kacamata kehidupan kita. Tembang karya Kanjeng
Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol
McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum
kagum dengan tembang ini, beliaupun sering memainkannya. Dalam alinea pertamanya
berbunyi “Lir-ilir-Lir-ilir, Tandure wus
sumilir , ijo royo-royo, Tak sengguh temanten anyar” mempunyai
makna bagunlah bukan berarti bangun dari tempat tidur. Tetapi kita diminta bangun
dari keterpurukan, bangun dari sifat malas, bangun dari kebodohan tentang tidak
mengenal Allah, bangun dari sifat yang buruk penyakit hati, bangun dari
kesalahan-kesalahan dan hendaknya kita senantiasa mohon ampun kepada Allah dan
brdzikir untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Allah dan
lebih mendekatkan diri kepada Allah. “tandure wus sumilir, Tak ijo
royo-royo tak, senggo temanten anyar”. Bait ini mengandung makna jika kita telah berdzikir kita akan
mendapatkan banyak manfaat bagi kita sendiri dan menghasilkan buah makrifat
atas izin Tuhannya. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa
yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat
untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih
level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya
msih dalam level pertama.
Selanjutnya makna Cah Angon-cah
angon Penekno Blimbing Kuwi Lunyu-lunyu
penekno Kanggo mbasuh dodotiro . “Cah angon” ? kenapa kata yang di pilih
Sunan Kalijaga adalah cah angon, bukan presiden atau para pengusaha, ini
menjadi pertanyaan besar buat kita ? Sunan Kalijaga memilih kata “cah angon” karena
pada dasarnya cah angon adalah pengembala, Pengembala mempunyai makna seorang
yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya
dalam jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah. Pengembala dalam tembang disini
masksudnya dapatkah kita menggembalakan dan menahan hati kita dari dorongan
hawa nafsu yang demikian kuatnya dan menahan hal-hal yang membuat kita akan
cenderung melakukan dosa. Kita harus menentang hawa nafsu yang dapat menejerumuskan
kita ke lembah syetan yang tidak diridhoi
Allah, dengan cara berpegang teguh dengan rukun Islam yang yang notabene buah
belimbing bergerigi lima buah yang di ibaratkan rukun islam. Jadi meskipun sulit, kita harus sekuat tenaga
tetap berusaha menjalankan rukun islam yang merupakan dasar dari agama Islam meskipun
banyak halangan dan rintangan. “Penekno” ? dalam bahasa indonesia adalah
“panjatlah” ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk memeluk
Islam dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejek para pemimpin Islam Nabi
dan Rosul dalam menjalankan syari’at Islam. Walaupun dengan penuh rintangan baik
harta, benda maupun tahta dan godaan
lain maka kita harus tetep bertaqwa kepada Allah.
“Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing pinggir”, yang maknanaya Pakaian
taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita hindari dan kita tinggalkan,
perbaiki kehidupan dan akhlak kita, seperti merajutpakaian hingga menjadi pakaian
yang indah ”karena sebaik-baik pakaian adalah pakaian bertaqwa kepada Allah. Dondomono,
Jlumatono, Kanggo Sebo Mengko sore ini Pesan dari para wali bahwa suatu
ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk
mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu didunia baik amal baik maupun amal
buruk. Maka perbaikilah dan sempurnakanlah
ke-Islaman kita agar kita selamat pada hari pertanggung jawaban kelak. Pakaian
taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang, untuk itu kita
diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap
ketika dipanggil menghadap kehadirat Allah SWT.
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane Yo surako surak iyo!!! Selagi
kita masih ada kesempatan, kita harus senantiasa mohon ampun kepada Allah,
menahan hawa nafsu duniawi yang dapat menjermuskan kita, dan senantiasa
bertaqwa kepada Allah sebagai bekal pertanggung jawaban kita kelak di akhirat. Begitulah,
para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut
ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di
depan mata kita, ketika usia masih menempel pada hayat kita ketika kita masih
di beri kesehatan . Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai.
Dari uraian diatas kita melihat bagaimana Sunan Kalijaga secara jenius
menerjemahkan ajaran Islam dalam rangkaian syair dan tembang pendek yang
memiliki makna mendalam mengenai perlunya seseorang dalam memperhatikan hidup kita
selama di dunia ini. Jangan hanya berorientasi pada keduniawian melainkan
berorientasikan pada kehidupan dalam alam kekekalan yaitu akhirat. Sehingga
kehidupan dunia dan akhirat harus seimbang. Sunan Kalijaga mengingatkan manusia
bahwa kita mempunyai pertanggung jawaban
pribadi kepada Tuhan, Karena semua perbuatan kita akan dimintai pertanggung
jawaban dari kita. Sunan Kalijaga menawarkan Islam sebagai jalan dan bekal
untuk menghadapi kematian dan pertanggungjawaban akhir. Dengan berbekal mengenai
keislaman dengan Rukun Imannya yaitu Sahadat, Sholat, Zakat, Shaum, Haji dan
senantiasa melakukan hal-hal yang baik menjauhi perbuatan buruk untuk
mendapatkan kehidupan yang baik diakhirat nanti
Kesimpulan
Tembang lir-ilir ciptaan Sunan
Kalijaga ini mempunyai makna yang mendalam dan dapat menginspirasi hakikat
kehidupan kita. Karena dalam tembang jawa ini mengandung unsur-unsur ajakan
untuk kembali kepada Allah, senantiasa mengingat kepada Allah, dan menahan hawa
nafsu agar kita tidak terjerumuskan ke lembah yang tidak di ridho’i Allah,
selalu mohon ampun kepada Allah. Sunan Kalijaga juga meningatkan kepada kita
bahwa perbuatan baik dan amalan menempati peran penting termasuk Sahadat,
Sholat, Zakat, Haji, Puasa dalam Islam sebagai bekal yang menentukan
keselamatan seseorang yang harus dibawa dan dipertanggungjawabkan saat mereka
mengalami kematian kelak. Lagu Lir Ilir memberi kita pelajaran dan pesan,
hendaknya manusia menyadari, bahwa hidup di dunia ini tidak akan lama dalam
bahasa jawa diibaratkan “urip iku sekedar mampir ngombe” yang maknanya hidup
itu sementara, seyogjanya kita semua harus mempersiapkan diri dengan
sebaik-baiknya sehingga kelak kita akan siap ketika tiba saatnya kita semua
dipanggil menghadap kehadirot Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar