Turi-turi putih
Tak tandur ning kebun
agung
Seleret tiba nyemplung
Mbok ira kembange opo.
INI tembang Jawa kuno, yang dulu kerap
ditembangkan oleh bocah-bocah yang bermain di halaman tatkala rembulan lagi
bundar-bundarnya. Biasa ditembangkan bocah angon yang tengah menjaga
kambingnya, atau anak sekolah ketika diminta gurunya untuk tampil di depan
kelas. Kini tembang itu tidak lagi berkumandang. Anak-anak sekarang sebagian
malah tak mengenalnya lagi. Padahal
betapa tingginya makna yang terkandung dalam Turi-turi putih. Betapa dalam
ajaran yang berada dalam larik-larik tembang itu.
Tembang itu dibuka dengan kata turi. Menurut Ki Sudrun, personel kelompok musik Kiai Kanjeng Yogyakarta, turi adalah
bunga dari pohon turi. Bunga atau kembang. Tembang ini segera mengajak kita
merenung: adakah yang lebih indah dari kembang? Kembang adalah perlambang
keindahan, kerendahhatian, apik, dan tepat. Manusia semestinya mengikuti laku kembang, harus selalu berupaya
untuk menjadi kembang, harus senantiasa berproses dan bertumbuh kembang. Tidak
boleh statis supaya tidak sama kodratnya dengan batu, bangku, atau benda mati
lainnya.
Manusia kembang adalah manusia yang manfaat. Setiap
pribadi perlu berproses menjadi
kembang-kembang: bagi dirinya dan
lingkungannya. Berproses, ibarat melewati godogan dalam kuali, berproses untuk matang dan menjadi sesuatu.
Proses ini panjang dan berat. Sayangnya orang sekarang kerap tidak mau melewati
proses, maunya langsung enak, instan.
Tembang kita ini mengajak kita menjadi kembang turi.
Menjadi kembang saja sudah indah, apalagi menjadi turi-turi putih. Kembang
kesucian. Putih adalah nurani. Dalam semua warna pada hakikatnya ada unsur
putihnya. Putih menuju kesempurnaan dan kesucian. Suci angan-angan berarti
menjaga kesucian pikiran dari rusuh dan selingkuh. Suci kaki berarti tidak
menendang orang. Suci tangan bermakna tidak memukul liyan, suci dalam arti
agama berarti wudhu atau toharoh.
Begitulah, dari Turi-turi
Putih kita telah dapatkan ajaran mulia untuk selalu berproses menjadi
kembang, menjadi sosok yang tepat, indah, dan manfaat. Terus mencoba menjadi
turi-turi yang suci.
Larik berikutnya adalah tak tandur ning kebun agung. Saya tanam di kebun agung. Apa kebung
agung? Kebun agung bukan sekadar bumi yang datar tempat berkebun. Di sini,
dalam tembang yang konon digubah oleh Kanjeng Sunan Kalijogo ini, kebun agung
dapat dimaknai sebagai kebun jiwa kita. Maka pertanyaannya: maukah kita memanam
turi-turi putih ke dalan bumi agung
jiwa kita? Maukah kembang kesucian kita tanam dalam bumi jembar hati nurani
kita?
Hai nafsu mutmainah, jiwa yang tenang masuklah ....dst
Seleret tiba
nyempung. Seleret menggambarkan sebuah proses dalam keanekaragaman, dalam
pelangi warna. Semua diri kita berproses dalam warna yang berbeda-beda. Dalam
proses pengalaman, pembelajaran, dan pendewasaan yang berlainan, dengan agama
dan keyakinan berbeda, merah, kuning, hijau, nila, ungu. Namun apapun warnanya
maka cemplungkanlah kedalam jiwa yang jernih. Maukah bulu, kuku, tulang, tubuh
kita kita nyemplung ke dalam nurani? Maukah turi-turi putih kita benamkan ke
bumi jembar jiwa kita?
Manakala kita berani memasuki kedirian kita, maka
kita menjadi gampang tafakur, mau merenung. Maka kita tergerak untuk selalu
introspeksi: Siapa sesungguhnya diri kita? Itulah yang disebut dalam ending tembang itu sebagai ungkapan
pertanyaan “mbok iro kembange opo?”
Tanyakan pada diri kita setiap waktu. Kembang apakah
sejatinya aku? Kembang mawar yang harum baunya, ataukah kembang gaceng yang
busuk atau kembang kamboja beraroma kematian? Kitalah yang menentukan mau
menjadi kembang jenis apa? Ini bukan soal nasib tetapi lebih merupakan pilihan.
Tembang Turi-turi
Putih berhenti sampai di sini, sampai pada pertanyaan mbok iro kembange opo. Kalau dinyanyikan lagi bakal kembali ke bait
awal berputar bagai siklus roda pedati. Mirip lagu dolanan berkarakter rap: Joko
Penthil Thela-thelo ayo lo... lopis mambu ayo mbu.....mbukak tenong... ayo
nong.... dan seterusnya.
Tetapi masyarakat lazimnya suka menambahkan barang
satu atau beberapa bait lagi dari tembang Turi-turi
Putih. Sah saja. Mari kita coba menambah dua bait yang lazim digunakan:
Kembang-kembang
nongko
Kembang nongko arum
gandane
Yen kepingin gak
tumbal nyowo
Ora tinggal katresnane
Kembang-kembang kacang
Yen disawang apik
rupane
Yen kepingin uripmu
padang
Ojo adoh karo asale
Tetapi tembang bukan
pasal undang-undang yang monotafsir. Tembang, seperti juga karya puisi dan
karya seni lainnya, memuat sejuta tafsir. Jadi, monggo kalau sampeyan punya tafsir sendiri terhadap Turi-turi Putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar